Dari
beberapa jenis bahan galian golongan C yang paling banyak penambangannya
dilakukan adalah pasir, kerikil, batu kali dan tanah urug. Usaha
penambangan terutama tanah urug tersebut harus mendapat perhatian serius,
karena sering kali usaha penambangan tersebut dilakukan dengan kurang
memperhatikan akibatnya terhadap lingkungan hidup. Pada umumnya pengusaha
penambangan bahan galian golongan C melakukan kegiatan penambangan
memakai alat berat. Dalam pemakaian alat-alat berat inilah yang mengakibatkan
terdapatnya lubang-lubang besar bekas galian yang kedalamannya mencapai 3
sampai 4 meter, dan apabila bekas galian ini tidak direklamasi oleh pengusaha
mengakibatkan lingkungan sekitarnya menjadi rusak.
Akibat
penambangan bahan galian golongan C ini, dapat mengakibatkan terjadinya
pengikisan terhadap humus tanah, yaitu lapisan teratas dari permukaan tanah
yang dapat mengandung bahan organik yang disebut dengan unsur hara dan berwarna
gelap karena akumulasi bahan organik lapisan ini disebut olah yang merupakan daerah
utama bagi tanaman. Lapisan olah ini tempat hidupnya tumbuh-tumbuhan dan
berfungsi sebagai perangsang akar untuk menjalar ke lapisan bawah. Lapisan ini
banyak digunakan oleh masyarakat untuk menyuburkan pekarangan rumahnya. Selain
itu terjadinya lubang-lubang yang besar akan mengakibatkan lahan itu tidak
dapat dipergunakan lagi (menjadi lahan yang tidak produktif), pada saat musim
hujan lubang-lubang itu digenangi air yang potensial menjadi sumber penyakit
karena menjadi sarang-sarang nyamuk.
Masalah utama yang timbul pada
wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi terutama
berdampak terhadap air tanah dan air permukaan,
berlanjut secara fisik perubahan morfologi dan topografi
lahan. Lebih jauh lagi adalah perubahan iklim
mikro yang disebabkan perubahan kecepatan angin, gangguan
habitat biologi berupa flora dan fauna, serta penurunan
produktivitas tanah dengan akibat menjadi tandus atau
gundul. Mengacu kepada perubahan tersebut perlu dilakukan upaya
reklamasi. Selain bertujuan untuk mencegah erosi atau mengurangi kecepatan
aliran air limpasan, reklamasi dilakukan untuk menjaga
lahan agar tidak labil dan lebih produktif.
Akhirnya reklamasi diharapkan menghasilkan nilai tambah bagi
lingkungan dan menciptakan keadaan yang jauh
lebih baik dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.
AKIBAT PENAMBANGAN GALIAN C
1.
Perubahan
vegetasi penutup
Proses land clearing pada saat
operasi pertambangan dimulai menghasilkan dampak lingkungan yang sangat signifikan
yaitu hilangnya vegetasi alami. Apalagi kegiatan pertambangan yang dilakukan di
dalam kawasan hutan lindung. Hilangnya vegetasi akan berdampak pada perubahan
iklim mikro, keanekaragaman hayati (biodiversity) dan
habitat satwa menjadi berkurang. Tanpa vegetasi lahan menjadi terbuka dan akan
memperbesar erosi dan sedimentasi pada saat musim hujan.
2.
Perubahan
topograf
Pengupasan tanah pucuk mengakibatkan
perubahan topografi pada daerah tambang. Areal yang berubah umumnya lebih luas
dari dari lubang tambang karena digunakan untuk menumpuk hasil galian (tanah
pucuk dan overburden) dan pembangunan infrastruktur. Hal ini sering menjadi
masalah pada perusahaan tambang kecil karena keterbatasan lahan (Iskandar,
2010). Seperti halnya dampak hilangnya vegetasi, perubahan topografi yang tidak
teratur atau membentuk lereng yang curam akan memperbesar laju aliran permukaan
dan meningkatkan erosi. Kondisi bentang alam/topografi yang membutuhkan waktu
lama untuk terbentuk, dalam sekejap dapat berubah akibat aktivitas pertambangan
dan akan sulit dikembalikan dalam keadaan yang semula.
3.
Perubahan
pola hidrologi.
Kondisi hidrologi daerah sekitar
tambang terbuka mengalami perubahan akibatnya hilangnya vegetasi yang merupakan
salah satu kunci dalam siklus hidrologi. Ditambah lagi pada sistem penambangan
terbuka saat beroperasi, air dipompa lewat sumur-sumur bor untuk mengeringkan
areal yang dieksploitasi untuk memudahkan pengambilan bahan tambang. Setelah
tambang tidak beroperasi, aktivitas sumur pompa dihentikan maka tinggi muka air
tanah (ground water table) berubah yang mengindikasikan pengurangan cadangan
air tanah untuk keperluan lain dan berpotensi tercemarnya badan air akibat
tersingkapnya batuan yang mengandung sulfida sehingga kualitasnya menurun
(Ptacek, et.al, 2001).
4.
Kerusakan
tubuh tanah.
Kerusakan tubuh tanah dapat terjadi
pada saat pengupasan dan penimbunan kembali tanah pucuk untuk proses reklamasi.
Kerusakan terjadi diakibatkan tercampurnya tubuh tanah (top soil dan sub soil)
secara tidak teratur sehingga akan mengganggu kesuburan fisik, kimia, dan
biolagi tanah (Iskandar, 2010). Hal ini tentunya membuat tanah sebagai media
tumbuh tak dapat berfungsi dengan baik bagi tanaman nantinya dan tanpa adanya
vegetasi penutup akan membuatnya rentan terhadap erosi baik oleh hujan maupun
angin, terkikisnya lapisan topsoil dan serasah sebagai sumber karbon
untuk menyokong kelangsungan hidup mikroba tanah potensial, merupakan salah
satu penyebab utama menurunnya populasi dan aktifitas mikroba tanah yang
berfungsi penting dalam penyediaan unsur-unsur hara dan secara tidak langsung
mempengaruhi kehidupan tanaman. Selain itu dengan mobilitas operasi alat berat
di atas tanah mengakibatkan terjadinya pemadatan tanah. Kondisi tanah yang
kompak karena pemadatan menyebabkan buruknya sistem tata air (water
infiltration and percolation) dan peredaran udara (aerasi) yang secara langsung
dapat membawa dampak negatif terhadap fungsi dan perkembangan akar. Proses
pengupasan tanah dan batuan yang menutupi bahan tambang juga akan berdampak pada
kerusakan tubuh tanah dan lingkungan sekitarnya. Menurut Suprapto (2008)
membongkar dan memindahkan batuan mengandung sulfida (overburden) menyebabkan
terbukanya mineral sulfida terhadap udara bebas. Pada kondisi terekspos pada
udara bebas mineral sulfida akan teroksidasi dan terlarutkan dalam air
membentuk Air Asam Tambang (AAT). AAT berpotensi melarutkan logam yang
terlewati sehingga membentuk aliran mengandung bahan beracun berbahaya yang
akan menurunkan kualitas lingkungan.
5.
Penurunan
Kualitas Udara
Banyaknya penggunaan alat berat
dalam proses penambangan akan menghasilkan emisi gas buang, selain itu
penggunaan kendaraan dalam proses pengangkutan material tambang juga
menghasilkan emisi gas buang serta mengakibatkan peningkatan jumlah partikel
debu terutama pada musim kemarau. Sehingga dalam kurun waktu yang lama akan
terjadi perubahan kualitas lingkungan terutama kualitas udara, baik dilokasi
penambangan maupun di jalur yang dilewati oleh kendaraan pengangkut material
tambang.
Pada prinsipnya kawasan atau sumberdaya alam yang dipengaruhi
oleh kegiatan pertambangan harus dikembalikan ke kondisi yang aman dan
produktif melalui rehabilitasi. Kondisi akhir rehabilitasi dapat diarahkan
untuk mencapai kondisi seperti sebelum ditambang atau kondisi lain yang telah
disepakati. Namun kebanyakan pemrakarsa kegiatan pertambangan kurang
memperhatikan prosedur reklamasi dan rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi
dilakukan merupakan kegiatan yang terus menerus dan berlanjut sepanjang umur
pertambangan sampai pasca tambang. Tujuan jangka pendek rehabilitasi adalah
membentuk bentang alam (landscape) yang
stabil terhadap erosi. Selain itu rehabilitasi juga bertujuan untuk
mengembalikan lokasi tambang ke kondisi yang memungkinkan untuk digunakan
sebagai lahan produktif. Bentuk lahan produktif yang akan dicapai menyesuaikan
dengan tataguna lahan pasca tambang. Penentuan tataguna lahan pasca tambang
sangat tergantung pada berbagai faktor antara lain potensi ekologis lokasi
tambang dan keinginan masyarakat serta pemerintah. Bekas lokasi tambang yang
telah direhabilitasi harus dipertahankan agar tetap terintegrasi dengan
ekosistem bentang alam sekitarnya.
Di Desa Kemiri
Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo untuk melakukan rehabilitasi reklamasi
bekas tambang galian C di lakukan kegiatan Hutan Rakyat dengan jenis tanaman
Sengon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar