Kelestarian hutan dan kehidupan ekonomi masyarakat desa hutan merupakan dua isu penting. Pada saat muncul masalah kerusakan hutan, seringkali yang dianggap penyebabnya adalahmasyarakat desa hutan. Terkait dengan isu tersebut muncul alternatif pemanfaatan lahan hutan untuk mendukung perekonomian masyarakat khususnya di sekitar hutan tanpa menimbulkan gangguan kerusakan hutan yang disebut lokasi Pemanfaatan Lahan Di bawah Tegakan. Pemanfaatan lahan di bawah tegakan ini perlu terus dilakukan sebagai solusi peningkatan aspek perekonomian dan upaya pelestarian hutan
Fenomena
pemanfaatan lahan di bawah tegakan (PLDT) merupakan alternatif lain dalam akses
pemanfaatan lahan hutan kepada masyarakat selain dari lokasi tumpangsari. Hal
tersebut sesuai dengan tujuan dari pengelolaan sumberdaya hutan bersama
masyarakat (PHBM). PLDT dilakukan oleh masyarakat pada awalnya tanpa melalui
prosedur yang legal. Secara teori, bila pelaksanaannya benar pada dasarnya
kegiatan ini dapat atau merupakan salah satu usaha untuk mengembalikan fungsi
hutan secara ekologis. Konsep ekosistem yang benar pada wilayah tropis tutupan
lahan (land cover) adalah bertipe daun, dari jenis rumput,
semak, perdu, dan yang paling tinggi adalah canopy pohon
(tegakan hutan). Selain hal itu, kegiatan PLDT mampu mengendalikan potensial
untuk tumbuhnya alang-alang. Pertumbuhan alang-alang yang terus meningkat akan
mengurangi kesuburan tanah dan mendukung kebakaran hutan.
PLDT
merupakan agroforestry yang pada dasarnya adalah pola pertanaman yang
memanfaatkan sinar matahari dan tanah untuk meningkatkan produktivitas lahan.
Pada sebidang petak lahan hutan yang dalam istilah setempat dinamakan borgan,
pesanggem menanam jati (Tectona grandis) yang memiliki tajuk (canopy) yang
tinggi dan luas. Di bawahnya, petani menanam tanaman yang memerlukan naungan
untuk berproduksi. Selain hal itu sebenarnya pola tanam agroforestry sendiri
tidak sekedar untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan (jaten-istilah
setempat), tetapi juga melindungi lahan dari kerusakan dan mencegah penurunan
kesuburan tanah melalui mekanisme alami. Pola tanam agroforestry pada hutan
produksi yang monokultur mendekati struktur hutan alam sangat diperlukan karena
bisa menciptakan struktur tajuk dan perakaran yang berlapis. Jadi manfaat ganda
dari pola agroforestry (yang ideal dan konsisten) adalah peningkatan
produktivitas dan pemeliharaan lingkungan.
Agroforestri adalah suatu
sistem pengelolaan lahan secara intensif dengan mengkombinasikan tanaman
kehutanan dan tanaman pertanian dengan maksud agar diperoleh hasil yang
maksimal dari kegiatan pengelolaan hutan tersebut dengan tidak mengesampingkan
aspek konservasi lahan serta budidaya praktis masyarakat lokal.
Beberapa pola agroforestri
yang diterapkan oleh masyarakat di lokasi pengamatan adalah sebagai berikut:
1.
Trees Along Border Yaitu
suatu
penanaman tanaman kehutanan dipadukan dengan tanaman pertanian dengan
pengaturan ruang untuk tanaman kehutanan ditanam di pematang atau di
pinggiran/batas lahan milik petani
2.
Alley Cropping Yaitu
suatu
penanaman tanaman kehutanan yang dipadukan dengan tanaman pertanian atau
perkebunan dengan pengaturan ruang untuk tanaman kehutanan ditanam dengan jarak
tanam yang lebar (misal 10 x 3 m). Lahan antar barisan tanaman kehutanan
dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pertanian atau perkebunan.
3.
Full Trees Yaitu
suatu
penanaman tanaman kehutanan yang ditanam dalam suatu lokasi tanam dengan jarak
tanam tertentu misal 3 x 3 m atau 3 x 2 m. Areal kosong di antara tanaman
kehutanan biasanya dimanfaatkan dengan ditanami dengan tanaman
semusim/pertanian (tumpangsari) setelah tajuk tanaman kehutanan menutupi tanah
kira-kira umur 2 tahun, areal ini masih dapat dimanfaatkan dengan tanaman bawah
tegakan misalnya jahe, kapulaga (Wanafarma) atau tanaman pangan yang tahan
naungan (talas/mbothe, porang),
4.
Kebun Campur
Kebun
campur adalah sistem bercocok tanam campuran dengan tanaman utamanya adalah
pohon/tanaman kehutanan. Tanaman kehutanan dan tanaman/pohon buah-buahan
(sengon, kembang, jabon, durian, duku, langsep, dan lain-lain) menempati strata
tajuk teratas, disusul dengan tanaman perkebunan (kopi, kakao, pisang, dan
lain-lain) dan strata tajuk terendah adalah tanaman semusim misal empon-empon
(jahe, kapulaga, kunyit, dan lain-lain), ketela pohon, talas
Faktor
ekonomi merupakan prioritas petani dalam pemilihan jenis tanaman dalam
mengusahakan lahan agroforestri. Faktor ekonomi berpengaruh langsung terhadap
pendapatan petani. Faktor ekologi menjadi prioritas setelah faktor ekonomi.
Agroforestri yang diterapkan oleh petani hutan rakyat memberi dampak positif
sebagai berikut:
a. Dampak Ekonomi –
Adanya diversifikasi hasil yaitu hasil
non kayu memberi keuntungan berupa pendapatan untuk memenuhi kebutuhan jangka
pendek (mingguan, bulanan, tahunan) sebutkan produknya, hasil kayu memberi
keuntungan finansial jangka menengah (5 tahunan) sebutkan jenis kayunya yang
dicadangkan untuk memenuhi kebutuhan yang memerlukan biaya besar yang sudah
direncanakan oleh petani. - Peningkatan nilai per satuan luas. - Memberi
kontribusi dalam penyediaan tenaga kerja bagi masyarakat.
b. Dampak Ekologi
Penutupan lahan yang semakin luas yang
efektif mencegah bencana alam. - Siklus hara alami terjamin dengan tersedianya
seresah yang cukup. - Membantu sistem perakaran dalam menahan air sehingga
proses hidrologi dapat berjalan normal. - Menghasilkan O2 dan mengikat CO2
sehingga pencemaran udara terkendali. - Berkontribusi dalam pelestarian alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar